Sering tidak Disadari, Nyatanya Orang Tua Bisa Menjadi Seorang Pembully untuk Anak!
Bullying bisa dibilang menjadi fenomena yang terus terjadi di Indonesia. Terlebih, tempat-tempat yang kita anggap aman seperti sekolah justru sering kali menjadi tempat perilaku bullying terus terjadi. Sehingga, rasanya sulit menemukan tempat aman untuk anak untuk bebas dari bullying.
Akan tetapi, bagaimana jika ‘bullying’ justru dilakukan oleh kita, orang tua? Bagaimana jika kita sebagai orang tua justru melakukan bullying terhadap anak kita sendiri? Monica Sulistiawati, M.Psi., Psikolog selaku Clinical Psychologist dan Child Development Specialist di Personal Growth hadir untuk memberikan jawaban terkait pertanyaan tersebut.
BACA JUGA: Ajak Si Kecil Mengenal Kata ‘Cukup’ Bersama Founder Lyfe With Less, Cynthia Lestari
Orang Tua bisa Menjadi Bully
Sering kali, kita sebagai orang tua mengajarkan anak kita untuk tidak menjadi seorang pembully. Namun, pada kenyataannya, sering kali sebagai orang tua kita justru ‘membully’ anak kita sendiri.
Sebagai contoh, stereotip yang melekat pada seorang laki-laki adalah seorang laki-laki tidak boleh menangis. Sehingga, ketika anak kita menangis, ungkapan atau kalimat seperti, “Ah lu begitu aja nangis. Cemen banget sih lu!”.
Ketika orang tua mengatakan hal tersebut, menurut Monica, hal tersebut merupakan bentuk bullying kepada anak. Karena, secara langsung kita mengucilkan anak melalui perkataan atau kalimat yang kita ungkapkan.
“Misalnya stereotip anak cowok nggak boleh nangis. Terus, ketika dia nangis kita bilang “ah gimana sih lu, gitu aja nangis. Hal tersebut sudah jadi bullying karena kita mengecilkan si anak ini, itu yang paling gampang deh, yang sering kali terjadi ke pada anak laki-laki.”
Perilaku orang tua yang mengecilkan anak melalui perkataan atau ungkapan yang tidak semestinya, dan juga mengacuhkan emosi anak. Pada dasarnya perilaku-perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai perilaku bullying.
“Ketika orang tua mengecilkan, mengabaikan emosi si anak. Sebenarnya hal tersebut sudah merupakan bullying.” jelas Monica.
Yang lebih parah, becanda-becanda yang dilakukan orang tua pun nyatanya merupakan bentuk dari bullying. Misalnya candaan ketika si anak sedang mengekspresikan kebanggaan terhadap dirinya sendiri yang justru diputarbalikan oleh orang tua dengan kalimat yang merendahkan merupakan bentuk dari bullying dan sangat berbahaya. Karena ungkapan tersebut akan merusak self esteem anak.
“Orang tua zaman dulu itu kan memang jarang memuji anak ya. Nah jadi ketika misalnya waktu saya masih kecil gitu ya. Namanya anak perempuan gitu ya. Di depan cermin pakai barang-barang mamanya gitu ya, terus bilang “Saya cantik ya gitu.” Orang tua zaman dulu justru biasanya akan melakukan reverse. Dibalikin. Jadi malah bilangnya, “nggak, jelek gitu.” Dan itu tertanam. Jelek, jelek, jelek. Dan itu sebetulnya salah satu bully juga.”
BACA JUGA: 4 Tipe Parenting yang dapat Kis Listener Terapkan Terhadap Anak!
Karakteristik Bullying
Lebih lanjut, Monica pun menjelaskan karakteristik yang biasa terjadi dalam kasus bullying yang nyatanya memiliki relevansi dengan orang tua dan anak. Karakteristik pertama adalah imbalance of power. Pada dasarnya, ada hubungan superioritas antara orang tua dengan anak, orang tua tentunya lebih superior dibandingkan dengan anak.
“Bullying sendiri sebetulnya itu punya tiga karakteristik. Yang satu imbalance of power, artinya ada kekuatan yang tidak seimbang nih. Orang tua sama anak sudah pasti orang tuanya lebih superior gitu kan?” terang Monica.
Kemudian, terjadi berulang-ulang. Sering kali, orang tua tidak sadar bahwa gaya parenting mereka justru merupakan tindakan bullying. Terakhir, bertujuan. Bertujuan ini dalam artian apa yang dilakukan dilakukan secara sadar. Hal-hal seperti rasionalitas serta keinginan orang tua untuk membentuk karakter anak sering kali menjadi ‘momen’ orang tua membully anaknya.
“Kemudian yang kedua adalah dia terjadi berulang kali. Jadi bukan hanya sekali dua kali tapi itu sudah menjadi bagian. Atau bahkan kadang-kadang itu sudah jadi tanpa disadari part of the parenting style.” jelas Monica
“Nah yang ketiga biasanya adalah bertujuan. Jadi bertujuan itu artinya apa? Si orang tuanya memang melakukan itu dengan disadari. Bukannya tanpa sadar, disadari mungkin bisa rasionalisasi dengan pikiran bahwa. Oh iya gue kan mau anak gue lebih kuat, gue kan mau anak gue lebih pinter gitu.” ujar Monica.
BACA JUGA: Anak Mulai Merasa Kurang Disayang Dibandingkan Saudaranya? Apa yang Harus Kita Lakukan?
Anak Mencontoh Orang Tua
Tentunya ‘bullying’ yang dilakukan orang tua ini bukan tidak berdampak pada anak. Sama seperti istilah pepatah yang mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’, ketika perasaan anak tidak divalidasi, mereka akan ‘mencontoh perilaku orang tuanya di sekolah. Mereka akan mencari sosok anak-anak yang lebih inferior dari mereka untuk kemudian mereka jadikan bahan ‘pelampiasan’ mereka.
Mereka cenderung akan bertanya mengenai kebiasaan-kebiasaan korban bullying yang lebih sering diam, karena ketika di rumah emosi mereka tidak divalidasi oleh orang tua mereka dengan berbagai ungkapan, seperti “Jangan nangis, cemen amat” dan lain sebagainya.
Berawal dari tidak divalidasi emosi mereka di rumah oleh orang tua mereka, si anak akan tumbuh dengan tidak memahami konsep emosi, sehingga segala macam kebiasaan di luar lingkungan mereka akan dianggap sebagai sebuah ‘keanehan’.
“Karena dia juga tidak divalidasi bahwa orang ngomong ke dia itu juga dia sakit hati gitu kan. Tapi tidak ada kata maaf, tidak ada kayak empati lah ya. Dari orang tua yang menerapkan bahasa seperti itu terhadap anaknya gitu kan.” ujar Monica.
BACA JUGA: Si Kecil Mulai Masuk Usia 6 Bulan? Berikut Rekomendasi MPASI untuk Si Kecil
Dengan demikian, penting rasanya untuk memberikan pelajaran yang lebih bijak terhadap anak kita. Hal sederhana seperti memvalidasi emosi anak tentunya menjadi kunci penting untuk membentuk karakter anak yang paham akan kondisi orang lain, sehingga memiliki empati dan tidak menjadi pembully. (*/)
(RRY)
Berikan Komentar Anda